ads

Al Adzom Kota Tangerang

Masjid Al-Adzom Kota Tangerang.

Balaikota Tangerang

Plaza Puspem (Pusat Pemerintahan) Kota Tangerang.

Walikota Tangerang

Drs. H. Wahidin Halim, M.Si.

Sejarah Tangerang

Bismillah peget Ingkang Gusti Diningsun juput parenah kala Sabtu Ping Gasal Sapar Tahun Wau Rengsena Perang nelek Nangeran Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi.

KECAMATAN NEGLASARI

KANTOR KECAMATAN NEGLASARI by ui putra - kecamatanneglasari.blogspot.com.

Camat Neglasari, Boyke Akhmad Syafei

Kecamatan Neglasari Kota Tangerang Propinsi Banten Indonesia. Jl. Iskandar Muda No. 54 Tangerang 15121.

Jumat, 22 Maret 2013

Musrenbang Kecamatan Neglasari Tahun 2013


Musrenbang Kecamatan Neglasari Tahun 2013

Musrenbang Kecamatan Neglasari Tahun 2014

Musrenbang Kecamatan Neglasari Tahun 2013. Kecamatan Neglasari Kota Tangerang pada hari Kamis tanggal 07 Pebruari 2013 yang lalu telah melaksanakan kegiatan musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Tingkat Kecamatan untuk menetapkan prioritas usulan kegiatan pembangunan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Tangerang pada Tahun 2014 yang akan datang.

Dengan melibatkan seluruh unsur/komponen masyarakat lokal yang terkait dan yang berkepentingan dalam kegiatan pembangunan yang akan diusulkan, alhamdulillah Musrenbang Kecamatan Neglasari Tahun 2013 telah berhasil menetapkan daftar skala prioritas usulan kegiatan pembangunan yang akan diajukan dalam kegiatan Musrenbang Tingkat Kota Tangerang dan Forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) pada tahun 2013 ini.

Musrenbag Kecamatan Neglasari di atas sesungguhnya merupakan acara puncak dari rangkaian kegiatan pelaksanaan Musrenbang Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kecamatan Neglasari yang dimulai dari kegiatan Musrenbang Tingkat Kelurahan pada 7 Kelurahan yang ada di wilayah Kecamatan Neglasari.

Jadwal Musrenbang SKPD Kecamatan Neglasari Tahun 2013
Pelaksanaan Musrenbang Tingkat Kelurahan di wilayah Kecamatan Neglasari diselesaikan selama 1 (satu) minggu dalam hari kerja dengan perincian jadwal waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan musrenbang kelurahan sebagai berikut :

No
Kelurahan
Tanggal
Waktu
Tempat
1
Kedaung Baru
21 Januari 2013
08.00 wib s/d selesai
Aula Kantor Kelurahan
2
Mekarsari
21 Januari 2013
13.00 wib s/d selesai
Aula Kantor Kelurahan
3
Karanganyar
22 Januari 2013
08.00 wib s/d selesai
Aula Kantor Kelurahan
4
Karangsari
22 Januari 2013
13.00 wib s/d selesai
Aula Kantor Kelurahan
5
Kedaung wetan
23 Januari 2013
08.00 wib s/d selesai
Aula Kantor Kelurahan
6
Neglasari
23 Januari 2013
13.00 wib s/d selesai
Aula Kantor Kelurahan
7
Selapajang Jaya
23 Januari 2013
13.00 wib s/d selesai
Aula Kantor Kelurahan

Adapun pelaksanaan Musrenbang Tingkat Kecamatan Neglasari Tahun 2013 adalah hari Kamis, tanggal 07 Pebruari 2013, bertempat di Aula Kantor Kecamatan Neglasari.

Penyelenggaraan Musrenbang SKPD Kecamatan Neglasari (Tingkat Kelurahan dan Kecamatan) dilaksanakan oleh Tim Kepanitiaan Musrenbang yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Camat Neglasari Nomor : 050/SK.MRBG.03-Adm.Kpg/Ngl/2013 tentang Pembentukan Tim Penyelenggaraan Musrenbang SKPD Kecamatan Neglasari Tahun Anggaran 2013.

Unsur Yang Terlibat
Berdasarkan arahan dalam dasar hukum, pengertian, maksud dan tujuan musrenbang kecamatan dalam regulasi dan juklak-juknis yang telah ditetapkan, maka keterlibatan berbagai unsur pemangku kepentingan dalam perencanaan pembangunan di wilayah Kecamatan Neglasari dilibatkan semaksimal mungkin dalam kegiatan Musrenbang Kecamatan Neglasari Tahun 2013.

Peserta yang diundang dalam Acara Musrenbang Kecamatan kedalam dua kategori, yaitu :
  1. Peserta, yang meliputi Lurah, delegasi musrenbang kelurahan, anggota DPRD Dapil III, perwakilan SKPD, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, organisasi masyarakat yang berkompeten (BKM, KNPI, BKPRMI, KTI, PKK, dll), organisasi perempuan, kader posyandu, UPTD di wilayah Kecamatan Neglasari, para pengusaha, muspika kecamatan (Kapolsek, Dandim, Ketua MUI), babinkamtibmas kelurahan, dan beberapa kelompok kepentingan yang kontributif dalam kegiatan pembangunan secara aktif.
  2. Narasumber, antara lain Bappeda, perwakilan DPRD, Camat, Para Kasi Kecamatan (Diskusi Kelompok), perwakilan SKPD, dan unsur lain yang diperlukan
Unsur yang hadir dalam acara puncak musrenbang kecamatan dapat dilihat dalam daftar hadir yang kami sertakan dalam lampiran pada laporan ini, dimana tercatat sebanyak 200 orang peserta Musrenbang Kecamatan Neglasari, 15 orang peserta Diskusi Kelompok A, 19 orang peserta Diskusi Kelompok B, dan 19 orang peserta Diskusi Kelompok C (total 53 orang peserta diskusi kelompok musrenbang Kecamatan Neglasari).

Musrenbang Kecamatan Neglasari Tahun 2014
(Keterlibatan aktif masyakat lokal dalam Musrenbang)

Teknis Pelaksanaan (Acara) Musrenbang Kecamatan Neglasari
Secara garis besarnya, teknis pelaksanaan musrenbang yang dipakai oleh Kecamatan Neglasari dilakukan dengan format teknis secara baku yang telah ditentukan dalam Juklak dan Juknis Musrenbang Tingkat Kelurahan dan Kecamatan yang dikeluarkan oleh Bappeda Kota Tangerang. Untuk Musrenbang Tingkat Kecamatan teknis pelaksanaanya meliputi :
  1. Pendaftaran Peserta
  2. Pembukaan
  3. Sidang Pleno 1
  4. Rapat (Diskusi/musyawarah) Kelompok
  5. Sidang Pleno 2
  6. Pembacaan Do'a
  7. Penutup
Pendanaan Musrenbang Kecamatan Neglasari
Pelaksanaan Musrenbang SKPD Kecamatan Neglasari Tahun 2013 dibiayai dari dana APBD Kota Tangerang Tahun Anggaran 2013.

Semoga kegiatan Musrembang Kecamatan Neglasari ini dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat Kecamatan Neglasari khususnya, dan warga Kota Tangerang pada umumnya.

Semoga Bermanfaat
----------------------------------------------------------------------
Sumber : Seksi Ekbang Kecamatan Neglasari
repost by Rulianto Sjahputra-2013

Sabtu, 15 Desember 2012

Amazing

Amazing,.... how can they do like that?
watching this video

Amazing Japanese Precision

Source : youtube

uiputra-2012


Jumat, 14 Desember 2012

Tata Cara Pengajuan Informasi Publik

Tata Cara Pengajuan Informasi Publik


Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan  Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Layanan Informasi Publikdiatur mekanisme memperoleh informasi publik oleh masyarakat luas dengan redaksionalnya tertera sebagaimana yang kami sajikan di bawah ini.
(UU No. 14 Tahun 2008)
BAB VI
MEKANISME MEMPEROLEH INFORMASI
Pasal 21
Mekanisme untuk memperoleh Informasi Publik didasarkan pada prinsip cepat, tepat waktu, dan biaya ringan. 


Pasal 22 
  1. Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh Informasi Publik kepada Badan Publik terkait secara tertulis atau tidak tertulis.
  2. Badan Publik wajib mencatat nama dan alamat Pemohon Informasi Publik, subjek dan format informasi serta cara penyampaian informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik.
  3. Badan Publik yang bersangkutan wajib mencatat permintaan Informasi Publik yang diajukan secara tidak tertulis.
  4. Badan Publik terkait wajib memberikan tanda bukti penerimaan permintaan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) berupa nomor pendaftaran pada saat permintaan diterima.
  5. Dalam hal permintaan disampaikan secara langsung atau melalui surat elektronik, nomor pendaftaran diberikan saat penerimaan permintaan.
  6. Dalam hal permintaan disampaikan melalui surat, pengiriman nomor pendaftaran dapat diberikan bersamaan dengan pengiriman informasi.
  7. Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan, Badan Publik yang bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan : 
a.    informasi yang diminta berada di bawah penguasaannya ataupun tidak;
b.   Badan Publik wajib memberitahukan Badan Publik yang menguasai informasi yang diminta apabila informasi yang diminta tidak berada di bawah penguasaannya dan Badan Publik yang menerima permintaan mengetahui keberadaan informasi yang diminta;
c.    penerimaan atau penolakan permintaan dengan alasan yang tercantum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
d. dalam hal permintaan diterima seluruhnya atau sebagian dicantumkan materi informasi yang akan diberikan;
e.  dalam hal suatu dokumen mengandung materi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, maka informasi yang dikecualikan tersebut dapat dihitamkan dengan disertai alasan dan materinya;
f.     alat penyampai dan format informasi yang akan diberikan; dan/atau
g.    biaya serta cara pembayaran untuk memperoleh informasi yang diminta. 

     8. Badan Publik yang bersangkutan dapat memperpanjang waktu untuk mengirimkan
     9. pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), paling lambat 7 (tujuh) hari kerja berikutnya 
         dengan memberikan alasan secara tertulis.
    10 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permintaan informasi kepada Badan Publik diatur oleh 
         Komisi Informasi.

Secara lebih rinci, mekanisme permohonan informasi publik dapat dilihat dalam "Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Layanan Informasi Publik". 

Gambar di bawah ini akan memperjelas mekanisme permohonan informasi publik, dengan alur sebagai berikut :
Tata Cara Pengajuan Informasi Publik

Semoga informasi dalam artikel ini dapat bermanfaat untuk kita semua(ruli/12).
--------------------
Tambahan : 
Contoh Mekanisme Permohonan Informasi Publik di Kementrian Komunikasi dan Informatika RI
Tata cara Pengajuan Informasi Publik
Sumber : 
UU No. 14 Tahun 2008 Tentang KIP
Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Layanan Informasi Publik
-----------------------
Post by Rulianto S.

Tidak Semua Catatan Sejarah Bisa Dibuka


JAKARTA (Pos Kota) – Meski sudah ada Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tetap tidak bisa membuka  semua catatan sejarah yang disimpan di sana.
Tidak Semua Catatan Sejarah Bisa Dibuka
Keterbukaan bukan berarti buka-bukaan semuanya. Ada hal yang masih harus tertutup, misalnya tentang keamanan negara dan isu SARA,” ucap Kepala ANRI, M. Asichin dalam saresehan wartawan bertema, “Mengenal Lebih Dekat Pelestari Memori Kolektif Bangsa,” di kantor ANRI Jl. Ampera Raya, Kemang, Jakarta Selatan, kemarin.
Turut hadir Sekretaris Utama, Gina Masudah Husni, dan Deputi Bidang  Informasi dan Pengembangan Sistem Kearsipan (IPSK),  Dini Saraswati. Saresehan dipandu Donna Amelia, penyiar  MNC TV.
Asichin mengakui, desakan keterbukaan di berbagai bidang kian deras terutama pasca reformasi 1998. Namun jika menyangkut rahasia pertahanan negara, SARA (Suku, Agama, Ras dan Adat), strategi persenjataan serta sistem keamanan negara, pihaknya harus ‘turut’ mengamankan. Artinya, ada dokumen yang bukan untuk konsumsi publik.
Tapi dia menargetkan, arsip yang bersifat rahasia di ANRI idealnya di bawah 10 persen. “Ke depan, semua catatan yang tersimpan di ANRI idealnya bisa dilihat khalayak umum,” kata dia.
Untuk memberi batasan mana saja catatan sejarah yang bisa dilihat oleh umum dan mana yang tidak, kata Asichin, pihaknya telah melakukan nota kesepahaman atau Memori of Understanding (MoU) dengan dua institusi terkait yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo),  serta  Komisi Informasi Pusat (KIP). MoU dilakukan di Bandung  pada 3 Juli 2012.
KIP BUTUH KOMITMEN
Asichin mengatakan, keterbukaan informasi publik (KIP) membutuhkan komitmen bersama dari kementerian, lembaga dan pemerintah daerah. Adanya Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP bukan berarti masyarakat bisa buka-bukaan dalam mengakses informasi pada badan publik.
Di Indonesia, sambungnya, masalah keterbukaan arsip sudah diatur secara umum dalam UU No 14/2008 tentang KIP, dan secara khusus telah diatur dalam UU No 43/2009 tentang Kearsipan. Di situ disebutkan, memperoleh Informasi, apalagi arsip statis,  dijamin oleh Konstitusi atau UUD  1945 Pasal 28 F (Amandemen kedua 18 Agustus 2000).
Asichin menegaskan kembali, tidak semua arsip dinamis dinyatakan terbuka dan tidak semua arsip statis terbuka seluruhnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pada saresehan itu, Asichin juga menjelaskan,  beberapa istilah kearsipan yang perlu diketahui masyarakat, seperti  arsip dinamis, arsip statis, akses, koleksi, dan khasanah.
“Istilah arsip di Indonesia berasal dari Belanda, yakni archief. Demikian juga istilah arsip dinamis (dinamisch archief) dan arsip statis (statisch archief),” kata dia.
Asichin mencontohkan, untuk arsip peninggalan Belanda, baik arsip VOC maupun Pemerintah Hindia-Belanda pada dasarnya adalah terbuka untuk umum. “Tetapi untuk peneliti asing dipersyaratkan terlebih dahulu mendapatkan ijin penelitian yang dikeluarkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi,” cetusnya.
PENGGUNA ARSIP KECEWA
Menurut Asichin, dalam beberapa  kasus  di ruang baca ANRI, seorang pengguna arsip merasa kecewa ketika meminta arsip ternyata  tidak boleh diakses. Padahal, ANRI tidak memiliki peraturan tertulis soal larangan mengakses tersebut.
“Alasan kami sederhana, yakni ada kesepakatan antara ANRI dengan pemilik arsip agar tidak mempublikasikan arsip tersebut kepada masyarakat luas, kecuali kepada pihak-pihak yang sangat berkompeten,” paparnya.
Dijelaskannya, di negara-negara Eropa, seperti Inggris, Perancis atau Belanda, masalah akses ini baru bisa dibuka untuk umum setelah berjangka waktu 30 tahun. Ada juga yang baru 20 tahun sudah boleh dibuka untuk pengguna arsip.
Asichin mengakui, dalam beberapa hal ANRI masih menggunakan kebijakan tradisional atau tidak tertulis. Ini dilakukan karena secara hukum terkait dengan beberapa dokumen seperti, Undang-Undang Kerahasiaan Dokumen Negara, dan Undang-Undang Dokumen Pribadi.
ARSIP LENGKAP
Asichin menjelaskan, di ANRI tersimpan berbagai khasanah arsip yang menceritakan tentang PKI Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965. Arsip-arsip itu sudah berjangka waktu lebih dari 30 tahun. Tetapi hingga kini arsip-arsip tersebut masih belum dibukasediakan untuk pengguna arsip.
Begitu juga dengan arsip yang membahas masalah tanah. Untuk memfoto-kopi arsip-arsip tersebut tidak diperbolehkan, terutama   tanah warisan yang sedang berkasus (rebutan warisan tanah). Pihak ANRI pun tidak bisa memberi cap resmi untuk keterangan riwayat tanah tersebut. Karena harus mendapat ijin dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
SUPERSEMAR
Dalam saresehan wartawan itu, Kepala ANRI juga menyinggung tentang keberadaan naskah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) asli yang tetap harus dicari. “Supersemar asli  penting untuk kepastian sejarah dan warisan sejarah kepada generasi penerus,” cetusnya.
Asichin mengakui, naskah Supersemar yang tersimpan di ANRI tidak asli. Ada dua versi naskah Supersemar yang tersimpan di ANRI.  Versi pertama hanya satu lembar dari Dinas  Penerangan TNI Angkatan Darat (Dispenad). Dan versi kedua sebanyak dua lembar dari Sekretariat Negara (Setneg). Namun keduanya palsu, termasuk tanda tangan Presiden Soekarno juga  tidak otentik di kedua dokumen tersebut.
“Kalau suratnya sudah palsu, tentu  tanda tangannya tidak asli. Nah, siapa yang memalsukan, kita enggak tahu,” ujar dia.
Kepala ANRI  menjelaskan, pihaknya telah melakukan pencarian naskah asli Supersemar sejak tahun 2000. Sudah banyak yang ditemui, mulai dari mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), Joko Pekik dan Rewang, hingga  keluarga Jenderal (Purn) M Jusuf, salah satu petinggi Angkatan Darat (AD) yang mengantarkan Supersemar dari Soekarno kepada Soeharto.
Asichin mengatakan, klaim M. Jusuf memiliki naskah asli Supersemar tidak terbukti. Buktinya,  Andi Heri, keponakan M. Jusuf  mengatakan keluarganya tidak menyimpan Supersemar. “Kami juga pernah mendatangi anak Jenderal (Purn) AH Nasution, namun hasilnya juga sama, nihil. Dia juga tidak tahu,” kata Asichin.
Secara pribadi, Asichin meyakini Supersemar asli itu benar-benar ada. Soekarno sendiri pernah mengatakannya pada pidato di HUT Kemerdekaan 17 Agustus 1966. “Almarhum Pak Moerdiono juga mengaku pernah melihat,” terangnya. (aby/dms 
------------------------
Sumber : Pos Kota News
Repost by Ruli-2012

Informasi Publik Yang Dikecualikan


Informasi Publik Yang Dikecualikan
Informasi Publik Yang Dikecualikan - Undang-undang no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah mendefinisikan Informasi Publik sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang­Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Berdasarkan ketentuan tersebut, Informasi Publik pada prinsipnya adalah segala jenis informasi yang berada dalam penguasaan Badan Publik dalam rangka pelaksanaan tugas mereka. 

Salah satu prinsip dalam keterbukaan informasi publik adalah: seluruh informasi publik bersifat terbuka, selain yang dikecualikan. Prinsip sebaliknya berlaku untuk informasi privat, dimana selruhnya bersifat tertutup, selain yang diijinkan untuk dibuka oleh pemilik informasi.
Article 19, salah satu NGO Internasional yang aktif melakukan kampanye tentang kebebasan informasi, telah mempublikasikan standar internasional mengenai prinsip-prinsip keterbukaan informasi[1] yang perlu diakomodasi dalam legislasi keterbukaan informasi: 
Principle-4: Limited Scope of Exceptions. Exceptions should be clearly and narrowly drawn and subject to strict “harm” and “public interest” tests.

Prinsip pengecualian yang terbatas tersebut dianut juga oleh Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Undang-undang ini menganut asas pengecualian sebagaimana dinyatakan pada bagian kesatu, pasal 2:

ayat (2):
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas;
ayat (4):
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang­Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbang-kan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Kerahasiaan adalah sesuatu yang diakui keberadaannya secara hukum. Dalam pemerintahan yang demokratis, asas pengecualian sebagaimana yang terdapat pada UU KIP ini penting untuk menekan kemungkinan penyelahgunaan kewenangan dengan mengatasnamakan kepentingan nasional (rahasia negara).

Kerahasiaan negara pada prinsipnya diperlukan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar, sebagaimana dinyatakan oleh Steven Aftergood[2]. Kerahasiaan untuk tujuan tersebut disebut Steven sebagai good secret, yakni suatu kerahasiaan negara yang bersifat murni (genuine national security secrecy). Kerahasiaan negara harus dihindarkan dari alasan-alasan birokrasi (bireaucracy secrecy) atau alasan-alasan politis (political secrecy). Steven menyebut dua terakhir sebagai bad secret.

Dengan memperhatikan ketentuan yang terdapat pasal 2 ayat (4) UU KIP, maka pengecualian informasi harus memenuhi beberapa sayarat berikut:
  1. Jika informasi yang dikecualikan bersifat rahasia.
  2. Pengecualian harus berdasarkan Undang-undang. Jika pengecualian diatur oleh Peraturan Perundang-undangan di bawahnya, maka harus dimandatkan oleh Undang-undang.
  3. Pengecualian berdasarkan kepatutan dan kepentingan umum. Untuk itu pengecualian harus didasarkan pada: 
§  pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat (uji konsekuen-si); serta
§  setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya (uji kepentingan publik).

2.1 Dasar Pengecualian Pada UU KIP
Dalam UU KIP Badan Publik berhak untuk menolak memberikan informasi untuk dua alasan: yakni penolakan karena alasan substansi, dan penolakan karena alasan prosedur. Ketentuan tersebut diatur pada bagian ketiga pasal 6 tentang hak Badan Publik:
ayat (1):
Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikansesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
ayat (2):
Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan.

 Pada risalah pembahasan RUU KMIP tanggal 26 Juni 2007 (sebelum diubah menjadi KIP), Pemerintah dan DPR menyepakati untuk memasukkan rumusan tersebut dengan maksud ayat (1) adalah pengecualian berdasar-kan substansi, sedangkan ayat (2) adalah pengecualian berdasarkan prosedur. Dengan disepakatinya dua ketentuan tersebut, maka UU KIP menganut pengecualian substansial dan pengecualian prosedural.
Badan Publik berhak untuk menolak permintaan agar informasi publik yang bersifat terbuka diberikan  berdasarkan prosedur yang diatur oleh UU KIP apabila prosedur pemberian informasi tersebut harus mengikuti peraturan perundang-undangan lain yang secara khusus mengaturnya. UU Kebebasan Informasi (FOI Act) di Inggris menyebut-nya sebagai pengecualian karena alasan informasi tersebut hanya dapat diakses melalui cara lain (available by other means)[3].

Sebaliknya, prosedur layanan informasi sebagaimana diatur dalam UU KIP tidak dapat serta merta dijadikan alasan oleh Badan Publik untuk menolak pemberian informasi apabila ada peraturan perundang-undangan lain yang bersifat lebih khusus mengatur mengenai akses informasi sepanjang tidak bertentangan dengan asas UU KIP. Sebagai contoh:
Wawancara oleh wartawan. Sejak diberlakukannya UU KIP, banyak wartawan mengeluh karena Badan Publik menolak memberikan informasi ketika diwawancarai. Kebanyakan wartawan merasa kebebasan mereka terhambat karena UU KIP mengatur prosedur permohonan informasi yang terlalu lama bagi kepentingan profesi mereka. Sepanjang bukan informasi yang dikecualikan, untuk profesi wartawan berlaku Undang-undang Pers yang secara khusus yang telah mengatur hak dan kewajiban dalam memperoleh informasi. Tata cara untuk mendapatkan informasi untuk mereka mengikuti UU tersebut. Memberikan jawaban secara lisan dan lebih cepat dari ketentuan waktu maksimum sebagaimana diatur oleh UU KIP bukanlah suatu yang bertentangan. Mereka harus mengikuti ketentuan yang ada.

Hak Panitia Pengawas Pemilu untuk mengakses data di KPU. Berbagai data di KPU yang bersifat terbuka akan sangat terlambat untuk diakses oleh Panitia Pengawas Pemilu jika menggunakan tata cara yang diatur dalam UU KIP. Untuk menjamin akses Panitia Pengawas (Panwas) terhadap data tersebut, tata cara yang diatur dalam UU KIP tidak boleh diberlakukan sebagai dasar penolakan karena akan menghambat efektivitas tugas dan fungsi pengawasan. Pelayanan informasi oleh KPU harus mengikuti ketentuan yang mengatur hal tersebut, dan tidak harus mengikuti batasan waktu maksimum sebagaimana diatur oleh UU KIP.

Untuk pengecualian berdasarkan substansi, pasal 6 UU KIP memperjelas tiga domain utama kerahasiaan, yakni: kerahasiaan negara, kerahasiaan bisnis dan kerahasiaan pribadi.  Namun demikian bagian ini juga memasukkan beberapa hal yang sesungguhnya tidak terlalu relevan untuk masuk dalam kategori substansi, yakni sumpah jabatan dan ketersediaan dokumen:  
ayat (3):
Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. informasi yang dapat membahayakan negara;
b. informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlin-dungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat;
c. informasi yang berkaitan dengan hak­-hak pribadi;
d. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau
e. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

Rahasia jabatan sebetulnya merupakan kerahasiaan yang menyangkut substansi yang diatur oleh Undang-undang. Dalam bagian penjelasan UU KIP, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “rahasia jabatan” adalah rahasia yang menyangkut tugas dalam suatu jabatan Badan Publik atau tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya akan redundan dengan kerahasiaan lain yang diatur oleh Undang-undang. Sedangkan ketersediaan atau penguasaan dokumen lebih terkait dengan aspek prosedural daripada substansi.
Pengaturan lebih jauh mengenai pengecualian substansial atas konsekuensi yang ditimbulkan untuk ketiga domain utama kerahasiaan tersebut diatur pada pasal 17 UU KIP. Pasal ini mengatur tentang prinsip penerapan salah satu asas pengecualian sebagaimana diatur pada pasal 2 UUKIP, dimana pengecualian bersifat ketat dan terbatas. Untuk itu harus didasarkan atas pengujian konsekuensi yang ditimbulkan jika informasi dibuka.

Jika dicermati satu per satu, terlihat ada ketentuan yang tidak secara eksplisit menguraikan pengecualian berdasarkan konsekuensi. Salah satu ketentuan tersebut adalah pasal 17 huruf i, yang mengatur pengecualian untuk memorandum atau surat Badan Publik.
Pasal 17 huruf i:
Memorandum atau surat­-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan;
Penjelasan:
“Memorandum yang dirahasiakan” adalah memorandum atau surat­surat antar­Badan Publik atau intra­Badan Publik yang menurut sifatnya tidak disediakan untuk pihak selain Badan Publik yang sedang melakukan hubungan dengan Badan Publik dimaksud dan apabila dibuka dapat secara serius merugikan proses penyusunan kebijakan, yakni dapat:
  1. mengurangi kebebasan, keberanian, dan kejujuran dalam pengajuan usul, komunikasi,atau pertukaran gagasan sehubungan dengan proses pengambilan keputusan;
  2. menghambat kesuksesan kebijakan karena adanya pengungkapan secara prematur;
  3. mengganggu keberhasilan dalam suatu proses negosiasi yang akan atau sedang dilakukan. 
Ada kelemahan dalam penulisan ketentuan pada pasal 17 huruf i, dimana konsekuensi diterangkan pada bagian penjelasan yang sebetulnya bukan merupakan bagian dari norma. Namun demikian karena ketentuan tersebut dimasukkan dalam kelompok pasal 17, maka pengecualian tersebut tetap harus dilakukan dengan mempertimbangkan konsekuensi sebagaimana diterangkan dalam bagian penjelasan.
Kelemahan dalam penulisan juga terjadi pada pasal 17 huruf j yang mengatur pengecualian atas Undang-undang:
Pasal 17 huruf j:
informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang­Undang.
Keinginan untuk mengakomodasi pengecualian substansial berdasar-kan Peraturan Perundang-undangan lain pada dasarnya telah ditetapkan pada pasal 6 ayat (1). Dengan dimasukkannya ketentuan informasi yang tidak boleh diungkap berdasarkan Undang-undang pada kelompok pasal 17 (secara khusus mengatur pengecualian berdasarkan konsekuensi), maka pengecualian tersebut harus tetap disertai penjelasan mengenai konsekuensi yang ditimbulkan apabila informasi dibuka dan diberikan kepada Pemohon.
2.2 Pengecualian Berdasarkan Undang-undang Lain
Dalam pembahasan RUU antara Pemerintah dan DPR, terjadi beberapa kali perdebatan atas keinginan DPR menjadikan UU KIP sebagai Undang-undang payung (umbrella act). Hal tersebut diperkuat dengan keinginan DPR untuk menetapkan bahwa pengecualian hanya berdasarkan UU KIP. Namun demikian keinginan untuk menyusun suatu Undang-undang payung tak dimungkinkan di Indonesia. UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tak mengenal jenis Undang-undang tersebut.

Dalam pembahasan bersama DPR pihak Pemerintah berpendapat bahwa menetapkan klausul pengecualian hanya berdasarkan UU KIP akan berimplikasi luas terhadap harmonisasi dengan Peraturan Perundang-undangan lain. Ketentuan tersebut akan menyampingkan keberadaan Peraturan Perundang-undangan lain yang mungkin telah mengatur secara khusus pengecualian atau kerahasiaan. Pemerintah mengusulkan agar tetap mengakomodasi pengecualian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan lain dan sinkronisasi dilakukan dengan menggunakan kaidah umum yang berlaku (general principle of law). Usul ini diterima oleh DPR:

Pemerintah:
“… kemungkinan untuk inharmonize, satu tidak harmonis dengan yang lain, atau tidak sinkron satu sama lain itu sangat mungkin dalam perundang-undangan. Oleh karena itu, jika ada perbedaan semacam ini maka kita harus menggunakan asas-asas perundang-undangan.”
“Oleh karena itu kita selalu mengatakan di sini yang berlaku tidak boleh hanya menyebut Undang-undang ini, tapi peraturan Perundang-undangan yang berlaku, karena khawatir ada yang jauh lebih spesifik…”[4]

Dalam praktik, tidak terlalu mudah untuk menerapkan harmonisasi berdasarkan asas perundang-undangan tersebut, mengingat para ahli hukum biasanya akan memiliki cara pandang masing-masing untuk menentukan mana yang lebih khusus antara satu Undang-undang terhadap yang lainnya. Untuk mengurangi kemungkinan tersebut, harmonisasi juga harus mengacu pada salah satu sumber hukum yang berlaku, yakni UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP):

Pasal 44 ayat (2) :
Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 
Lampiran C.1 angka 74, huruf c:
hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asasmaksud, dan tujuan.

Berdasarkan ketentuan di atas, keputusan untuk memasukkan pengecualian berdasarkan Undang-undang lain pada pasal-pasal berikutnya setelah pasal 2 yang mengatur tentang asas dalam UU KIP, akan berimplikasi pada berlakunya asas pengecualian yang ada pada pasal 2 UU KIP (uji konsekuensi dan uji kepentingan publik) terhadap pengecualian yang diatur oleh Undang-undang yang lebih khusus, sepanjang Undang-undang tersebut tidak menganut asas pengecualian tersendiri. Hal ini diperkuat oleh Ketentuan Penutup UU KIP:

Pasal 63:
Pada saat berlakunya Undang-­Undang ini semua peraturan perundang­-undangan yang berkaitan dengan perolehan informasi yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang­-Undang ini.  
end -------------------------
[1] Article 19, Principles on Freedom of Information Legislation, International Standard Series, 1999
[2] Steven Aftergood, dalam Koalisi Kebebasan untuk Informasi, 2003: 43
[3] UK Freedom Of information Act 2000, part II, sec. 21.
(1)   Information which is reasonably accessible to the applicant otherwise than under section 1 is exempt information.
(2)   For the purposes of subsection (1)-
(a)  information may be reasonably accessible to the applicant even though it is accessible only on payment, and
(b)  information is to be taken to be reasonably accessible to the applicant if it is information which the public authority or any other person is obliged by or under any enactment to communicate (otherwise than by making the information available for inspection) to members of the public on request, whether free of charge or on payment.
(3)   For the purposes of subsection (1), information which is held by a public authority and does not fall within subsection (2)(b) is not to be regarded as reasonably accessible to the applicant merely because the information is available from the public authority itself on request, unless the information is made available in accordance with the authority’s publication scheme and any payment required is specified in, or determined in accordance with, the scheme.
[4] Risalah Rapat Kerja Pembahasan RUU KMIP antara Pemerintah dan Panja DPR RI, pada tanggal 26 Juni 2007, kutipan pernyataan Prof. Ahmad Ramli sebagai wakil Pemerintah.
------------------------
Sumber : (UU KIP)
Repost by Ruli-2012

SANGEGO

SANGEGO

Sangego nama lain dari Bendungan Pintu Sepuluh yang berlokasi diperbatasan antara Kelurahan Koang Jaya (Karawaci) dengan Kelurahan Mekarsari (Neglasari)

TEMPO DULU

TEMPO DULU

Sejarah yang tidak dapat dilupakan

Mauris euismod rhoncus tortor